Kamis, 11 Januari 2018

DIBALIK “NAMA BALI” SUKU BALI TERSELIP SEBUAH AJARAN/PAHAM.

Hasil gambar untuk kesetaraan
Nama merupakan sebuah identitas menjadi salah satu bukti yang menjelaskan sebuah keberadaan/eksistensi sesuatu. Nama orang Bali Merupakan sebuah kebudayaan luhur yang kaya akan makna yang tersirat bila kita sebagai generasi penerus mampu menterjemahkan warisan-warisan budaya tersebut secara bijak.
Bicara mengenai bali adalah bicara mengenai pengetahuan yang di manifestasi menjadi berbagai karya dan budaya. Pragmatisme merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan eksistesialisme orang bali. Kenapa demikian? Pragmatisme merupakan sebuah cabang filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran pengetahuan adalah kebermanfaatannya (Practice), artinya tedensi kebenaran pengetahuan adalah aksiologinya bukan ontology maupun epistomologinya. Tentu hal ini bukan sekadar spekulasi penulis, namun ini merupakan sebuah kebenaran, sebagai contoh orang bali tidak/belum membudayakan membaca Kitab Suci “Wedha”, namun inti-inti ajaran wedha itu di bentuk menjadi sebuah ritual-ritual suci agama yang lebih menekankan sisi aksiologi pengetahuan wedha tersebut. Bukan berangkat dari hal itu saja masih banyak contoh-contoh lain yang mendukung argument-argument penulis, salah satunya adalah makna tersirat dibalik penamaan orang-orang Bali.
Tentu kita sudah mengetahui, arti-arti penamaan orang bali secara tersurat seperti Wayan atau “Wayahan” = Lebih Tua, Made atau “Madya”= Tengah, Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir, Ketut yang merupakan kata serapan “Ke+tuut”- ngetut artinya mengikuti atau mengekor. Tapi dalam artikel kali ini, kita tidak akan membahas makna tersurat dalam penamaan orang bali, namun lebih dari itu ialah makna tersirat yang terkandung di dalamnya.
Apakah kira-kira makna tersirat di balik penamaan orang-orang bali tersebut?. Salah satu identitas orang bali adalah penamaannya. Kebanyakan orang bali mempunyai nama depan yang sama sesuai dengan urutan kelahirannya. Nama depan putu, kadek, nyoman dan ketut merupakan nama-nama umum yang dipakai oleh orang-orang bali. Selain nama-nama tersebut juga ada nama-nama seperti Desak, Anak Agung, Ida Bagus yang merupakan nama-nama wangsa/bangsawan bukan kasta (Imperialisme Hinduism melalui sistem kasta bukan “Varna”). Sebenarnya kalau dikaji lebih dalam di balik penamaan orang-orang bali seperti wayan, dkk terkandung prinsip Egaliterism (kesetaraan). Tentu dalam hal ini spesifikasinya adalah kesetaraan sosial. Anak Agung Gede…. merupakan contoh kesamaan tersebut. Baik dari golongan bangsawan maupun yang bukan golongan bangsawan tetap mengindahkan nama-nama umum orang bali tersebut.
Tentu timbul sebuah pertanyaan? Kalau dari penamaan orang bali tersebut tersirat paham egaliterism (Dalam hindu istilah ini identik dengan Tatwam Asi)? Lantas darimana asumsi bahwa sistem kasta itu ada dalam budaya bali? Tentu untuk membahas sistem kasta kita harus membahas sejarah hindu secara komprehensif, semenjak kedatangan bangsa arya yang membaur/mengusir sebahagian bangsa dravida hingga kedatangan imperialism inggris dan visi misionarisnya di India. Banyak kalangan intelektual hindu yang menentang adanya sistem kasta, karna kalau mengacu pada kitab suci sistem kasta tidak ditemukan akan tetapi yang ada hanyalah sistem Varna (Pengelompokkan sosial berdasarkan pencahariannya). Sistem kasta mulai populer ketika India kedatangan kaum imperialisme inggris. Banyak pembengkokan-pembengkokan sejarah dan juga penerjemahan kitab-kitab suci secara sempit (Hidden Vision). Kasta identik dengan statifikasi sosial yang negative, di dalam sistem kasta itu terdapat kelas sosial yang terbuang (Paria), dimana kaum ini lahir sebagai akibat perkawinan antara kelas-kelas sosial yang berbeda tingkat dalam tingkatan sistem kasta tersebut (yang sebenarnya tidak diperbolehkan kasta yang satu menjalin hubungan lebih dengan kasta yang lain), tentu hal ini merupakan bentuk penjajahan kelas, yang identik dengan Kaum Berpunya dan Kaum Tidak Berpunya. Apakah di bali sistem kasta itu berlaku? Jawaban ini dapat teman-teman baca pada artikel (http://inputbali.com/sejarah-bali/sejarah-adanya-kasta-di-bali).

Di akhir penghujung, Sebagai generasi penerus yang mewarisi sebuah budaya yang agung ini, maka tentu kita harus menjaga kebudayaan itu, menambah kekayaan tersebut bukan malah sebaliknya enggan menggunakan atau melanjutkan kebudayaan adiluhung (“) yang secara langsung mengikis kebudayaan itu secara perlahan. “Mengatasnamakan peradaban namun mengikis kebudayaan”.
















Senin, 08 Januari 2018

“Tong Kosong Nyaring Bunyinya”


Tulisan ini merupakan tulisan abal-abal yang sangat menghianati dari khaidah penulisan yang baik dan benar alias “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”, hambar tanpa makna, seperti makanan enak namun tidak bergizi.
Peribahasa “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” merupakan peribahasa yang memiliki makna yang sangat mendalam, dan merupakan sebuah kritikan ataupun sebuah refleksi setiap orang yang bisa mendengar dan membacanya. Sebuah kalimat yang singkat namun dapat meruntuhkan setiap ego maupun kepercayaan diri seseorang. Terlepas dari hal tersebut, penulis tidak akan memaparkan lebih jauh mengenai makna dari peribahasa tersebut, karna penulis yakin bahwa teman-teman yang meluangkan waktu untuk membaca tulisan tidak bermanfaat ini sudah tentu memiliki daya nalar yang bagus.
Dalam kepercayaan Hindu, di zaman yang kita nikmati sekarang merupakan zaman Kaliyuga yang berarti zaman dimana ke-egoisan manusia sedang merajalalela, zaman dimana manusia tidak lagi berperang dengan bangsa/kelompok (musuh/Adharma(ketidak benaran)) tertentu untuk meneggakkan kebenaran, namun manusia berperang dengan musuh yang ada dalam dirinya sendiri.
Merupakan sebuah refleksi pribadi penulis sebagai bentuk pengalaman pribadi penulis yang melihat begitu banyak makluk-makluk berpengetahuan yang semakin memiliki Idealisme Mutlak dan tidak jarang juga berIdealisme Semu (Tong Kosong Nyaring Bunyinya). Bertutur kata layaknya sang visioner yang bersih tanpa noda. Katakan “salah” pada kepentingan orang banyak dan katakan “benar” pada kepentingan diri sendiri merupakan istilah yang cocok untuk menggambarkan prinsip makluk-makluk halus tersebut. Kehidupan merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan (rwabhineda) merupakan istilah yang bijak untuk merespon kerasnya kehidupan di dunia.
Manusia Indonesia merupakan manusia-manusia yang ber-Tuhan, terlihat jelas disetiap langkah penulis menemukan bangunan-bangunan megah nan-suci yang didedikasikan untuk menghadap dan menjalin Silahturahmi dengan Sang Pencipta. Begitu eratnya hubungan antara manusia dan Tuhan di Negeri tercinta ini bila dipikirkan. Walaupun demikian banyaknya bangunan-bangunan tersebut, tidak sepercikpun membuat hati ini bersimpati lalu mengatakan manusia di dunia ini merupakan manusia-manusia yang bijak. Entah apakah bangunan itu hanya sebatas simbolisasi (Tong Kosong Nyaring Bunyinya)  atau memang pada kenyataan manusia Indonesia merupakan manusia yang menjunjung tinggi sila ke-1 dari Pancasila yaitu Berketuhanan Yang Esa.
Manusia merupakan makluk sosial “Zoon Politicon” terbukti dengan adanya istilah manusia tidak bisa hidup tanpa “Media Sosial”. Kebaikan-kebaikan diri dan keburukan-keburukan orang lain disebarluaskan, banyak yang kehilangan jati diri, merosotnya moralitas, miskin identitas, pragmatisme mengakar kuat pada generari Milineal. Mungkin hal ini sudah dipopulerkan dalam lagu “Kid’s Jaman Now”. Hal ini menyebabkan banyaknya bermunculan manusia-manusia “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” (termasuk penulis).