Senin, 26 Februari 2018

Tan Malaka (MADILOG) dan Hindustan


Hasil gambar untuk madilog
Sebagai insan yang cinta akan pengetahuan, tentu kita di tuntut untuk selalu membaca buku yang merupakan jendela dunia, jendela dunia yang memberikan ruang untuk memberikan sinar cahaya pengetahuan masuk menyinari setiap rumah yang takut akan kegelapan. Tan Malaka merupakan sosok yang gemilang bahkan pemikirannya berpengaruh terhadap kemerdekaan Indonesia. Beberapa tulisan-tulisan beliau (Salah satunya yaitu “MADILOG”)  yang dibukukan membuat pembacanya harus membuka pikiran semurni-murninya karna pemaparan pengetahuan yang murni tanpa unsur-unsur kotor yang terselip di dalamya.

Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti. Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama adalah budi (mind), kesatuan, pikiran dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.
Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika tetapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa dan bagaimana.
Tentu di dalam tulisan ini saya ingin mengupas dan menyampaikan tentang pandangan-pandangan penulis (subyektif) terhadap pandangan-pandangan Madilog terhadap Hindustan. Terutama dari sejarah hindu yang buram serta monopoli kebenaran yang dilakukan oleh kaum brahmana, sampai system kasta yang menyebabkan pertarungan kelas (bak kelas kaum buruh dan kaum berpunya) yang menyebabkan lahirnya Bhudiisme. Bukan hanya itu Logika Mistika merupakan bagian yang paling menarik untuk merevolusi mental sebagai seorang yang berdarah nusantara yang selalu menempatkan sesuatu fenomena sebagai sesuatu yang gaib, yang sekali lagi menempatkan Hindustan sebagai pengonsumsi yang paling kental.
Tentu hal ini tidak menjadi masalah dan menjadi tanggapan positif bagi saya seorang Hindustan yang awam. Seiring dengan berjalannya waktu saya mencoba menjawab pertanyaan itu sesuai nalar saya seperti orang buta mencoba mencari sumber cahaya di seluruh dunia (Bhuana Agung) namun sebenarnya cahaya itu bermuara pada diri manusia itu sendiri yang tidak lain dan tidak bukan adalah Akal dan Nalar manusia.
“Madilog memandang bahwa orang Indonesia merupakan orang-orang yang menganut Logika Mistika paling kental”. Tentu hal ini sangat rasional, mengingat kembali sejarah yang dipelajari sedari bangku SD sampai SMA yang selalu menerangkan bahwasanya Kepercayaan Nusantara terdiri dari Dinamisme dan Animisme. Tentu hal yang menarik dari pemaparan Madilog mengenai kepercayaan orang Indonesia selain kepercayaan Dinamisme (Segala sesuatu memiliki kodratnya masing-masing dan Animisme ( Anima-Jiwa (memuja roh leluhur)) adalah kepercayaan Daemonologi (Kepercayaan kepada hantu). Hindu Bali merupakan pemeran utama dari Konsep Logika Mistika ini, bagaimana tidak bahkan sampai sekarang budaya itu masih melekat di dalam kepercayaan Bali itu sendiri, hanya saja telah mengalami penyempurnaan dari Konsep dan Sradha (Iman) dari kepercayaan Hindustan itu sendiri. Sebagai contoh orang-orang bali masih menjalankan tradisi mebanten (upakara) terhadap binatang, tumbuhan dan Senjata atau di kenal dengan sebutan tumpek kandang, tumpek landep dan tumpek wayang (kesenian). Tentu hal ini sangat sejalan dengan konsep Tri Hita Karana Yaitu Relasi yang dibangun manusia terhadap Tuhan, Hewan, dan Manusia itu sendiri. Daemonologi (kepercayaan terhadap hantu) merupakan sesuatu yang lazim dan faktor utama mengapa orang Indonesia merupakan orang-orang yang mengonsumsi logika mistika. Dalam contoh-contoh yang dipaparkan dalam Madilog tentu sangat masuk akal bahkan sampai sekarang fenomena itu sampai sekarang masih ada seperti kesurupan dan Kesambet. Tentu sebagai Hindustan hal ini sudah tidak asing lagi bagi saya, bahkan turut serta dalam mengalami peristiwa-peristiwa seperti ini. Bahwasanya dalam kepercayaan hindu Dunia (Lokha) itu terdiri dari tiga yaitu, Dunia atas, Bawah, dan Dunia yang kita tempati untuk menjalankan swadharma kita sebagai umat manusia. Secara Rohani hal ini juga bisa dijelaskan, selain Bhuta kala umat manusia juga bisa terjebak menjadi makluk semacam itu yang tidak terlihat dengan kasat mata apabila tidak di upacarai dengan benar. Di dalam buku Samsara karya Komang Kurniawan yang merupakan murid dari Guru Gede Prama menjelaskan perjalanan sang Atman setelah meninggalkan badan Kasar. Berdasarkan buku tersebut jiwatman seseorang itu bisa terjerumus ke dalam alam bawah berdasarkan karma yang ia perbuat selama hidup. Atman yang terjerumus tersebut juga memiliki kehidupan yang sama dengan kehidupan di dunia (memiliki waktu hidup yang sama seperti manusia) hanya saja tingkat kesadaran yang lemah, sehingga roh-roh itu bisa diambil dan dipekerjakan oleh manusia-manusia berilmu hitam.
Logika Mistika merupakan Logika yang positif hanya saja berdasarkan pandangan Madilog, Logika mistika itu sangatlah fatal apabila di gunakan dalam tempat yang salah dan waktu yang salah juga (The Wrong Place, The Wrong Time). Misalnya Negara mengalami krisis, lantas kita sebagai warga kembali memainkan Logika Mistika itu dan mengatakan bahwa peran-peran hantu yang mencuri uang-uang Negara sehingga Negara mengalami krisis moneter (tidak relevan).
Selain logika mistika, terdapat juga konsep materialisme dalam pemaparan Madilog. Esensi dari materialism adalah asas kebendaan, “sesuatu itu benar apabila nyata dan dapat dipelajari secara ilmiah”. Dalam pemaparan lebih jauh Madilog memberikan pandangan-pandangannya, bahwa sesuatu yang ada tidak akan pernah tidak ada artinya setiap benda atau sesuatu memiliki kodratnya masing-masing. Sebagai contoh pasir yang berubah menjadi mutiara. Dalam pemaparan contoh tersebut kodrat benda pasir itu berubah menjadi mutiara, pasirnya tetap ada hanya kodratnya yang berubah. Contoh lain yang saya ambil berdasarkan Konsep hindu, bahwa badan manusia itu terdiri dari Panca Maha Butha, ada unsure api, udara, tanah, air dan ruang. Ketika badan manusia itu dikubur masing-masing unsure itu bersatu dengan alam, ia menjadi tanah, kemudian unsure tersebut diserap oleh tumbuhan lalu menjadi buah, demikian seterusnya. Artinya unsure-unsur pembentuk itu tidak akan pernah hilang hanya saja kodratnya yang berubah.
Di dalam materialism hal yang paling fundamental adalah dapat dipelajari (ilmiah). Lantas, apakah ideology Hindustan itu ilmiah?. Semadhi, Punarbhawa (kelahiran berulang-ulang) yang katanya Roh manusia bisa menjadi hewan, begitupun sebaliknya, apakah  itu ilmiah?
Bagaimana seorang hindu bisa membawa perubahan, sementara ia di tuntut untuk menjauhi kehidupan maya, semadhi dan menjaga netralitas atman itu sendiri, tidak memakan daging (Gandhiisme)?
Madilog memandang bahwa konsep Hindustan adalah dongeng semata. Madilog juga mempertanyakan kebenaran ephos mahabrata dimana di dalam cerita perangya panah bisa berubah menjadi banyak, terbang layaknya tidak ada gaya gravitasi, orang berubah menjadi kecil dll. Di dalam cerita mahabrata juga di paparkan bahwa tidak ada satupun ilmu perang yang menganalisis teknik dan system perang yang dilakukan pada masa itu. Masikah hal itu ilmiah??  Filsafat Hindustan adalah filsafat membangun konsep kebenaran melalui cerita dongeng. Kaum brahmana mempunyai andil yang cukup besar dalam berkembangnya dongeng-dongeng tersebut.
Tentu sepintas membuat saya sebagai pembaca yang awam dan sebagai bagian dari Hindustan membuat saya berpikir kembali dan mengingat kembali setiap pelajaran agama yang saya pernah dapatkan semasa bangku sekolah. Apakah benar mahabrata adalah sebuah dongeng?
Mengingat kembali sejarah Hindu yang bermula pada kedatangan bangsa Arya yang menduduki bangsa Dravida (Suku Asli), kemudian terjadi akulturasi kebudayaan, yang pada hakikinya adalah penyembah dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Madilog rujukan-rujukan yang di pakai adalah penelitian-penelitian bangsa Inggris yang notabene pernah menjajah India dan memiliki misi terselubung yaitu mengkristenisasi India, terbukti dengan adanya fakta bahwa banyak Kitab-kitab suci wedha yang diterjemahkan keliru. Tentu hal ini menjadi sebuah pertanyaan. Analogi seperti sebuah cermin bayangan terpantul tergantung jenis cermin yang digunakan, apakah dia cermin datar, cekung maupun cembung.
Brahmana merupakan tingkatan tertinggi dari system warna. Memang kita harus jujur pada sejarah bahwa di India memegang erat system kasta yang merupakan polarisasi dengan tujuan tertentu. Manusia memang sering menciptakan sebuah system yang salah dan kadang-kadang system itu terbentuk berdasarkan pola kehidupan masyarakat (Secara tidak sadar). Untuk menetralisir system tersebut tentu harus membutuhkan waktu yang lama dan tidak mudah (pendekatan Dialektika). Di dalam Madilog jelas dipaparkan bahwa kaum brahmana memiliki peran integral dalam menciptakan system kehidupan. Keputusan-keputusan para raja pada zaman dahulu harus memperhatikan kaum brahmana (Check and Balance). Di dalam cerita Mahabrata tentu kita juga dapat rasakan bagimana peran kaum brahmana dalam mempengaruhi keputusan-keputusan sang Raja. Dan tidak sedikit para Brahmana tersebut terjerumus dalam lingkaran Adharma (Ketidakbenaran) seperti guru Drona dan kakek Bhisma yang ikut membela kaum Kurawa dalam perang kurusetra. Lalu apakah membuat kita berpikir negative terhadap monopoli kebenaran yang dilakukan oleh kaum brahmana?. Tentuk untuk menjawab pertanyaan tersebut kita harus bergaul dan hidup diantara kalangan penganut hinduisme. Untuk menjadi kaum brahmana tentu harus melewati berbagai prosesi baik sekala (Nyata) maupun Niskala (gaib). Tingkat kesadaran kaum Brahmana sangat berbeda dengan orang awam itulah mengapa sebabnya mengapa brahmana dilarang dalam kegiatan bisnis dan politik. Tentu sangat rasional ketika pemimpin pemerintahan meminta nasehat atas keputusan yang akan di ambil karena kaum brahmana idealnya adalah kaum yang bijak.
Terkait dengan cerita mahabrata apakah ia nyata ataukah hanya sebuah dongeng filsafat yang didedikasikan untuk mengatur pola kehidupan manusia oleh kaum brahmana? Tentu pertanyaan ini harus memperhatikan aspek bukti sebagai lantai dasar dalam kebenaran ilmiah. dan lagi-lagi saya kembali mengingat salah satu sloka yang mengatakan bahwa wedha sangat takut terhadap orang-orang bodoh dan hinduisme adalah Sanatana Dharma (Kebenaran Hakiki). Terkait dengan hal ini banyak sekali artikel-artikel yang membahas tentang kebenaran ephos mahabrata yang tidak sempat saya paparkan disini. Tentu mencari kebenaran mahabrata sama saja dengan mencari kebenaran apakah adam dan hawa adalah nenek moyangnya manusia??? Apakah cerita tersebut dapat dibuktikan kebenaran ilmiahnya?. Lagi-lagi Teologi tidak bisa di sandingkan dengan Materialisme, karna seperti dua mata uang yang berbeda.
Kemenangan atas kolonialisme inggris yang dilakukan Mahatma Gandhi melalui Satya Graha merupakan sesuatu yang menggemparkan dunia. Mahatma Gandhi mampu mengusir para kolonial inggris tanpa mengangkat senjata (Jalan Kedamaian). Hal ini tentu menjadi jawaban atas pertanyaan diatas, apakah Hindustan mampu membawa perubahan sementara ia dituntut untuk menjauhi kehidupan masyarakat (tahapan akhir setelah masa Grhasta( berumah tangga), tidak makan daging (Vegetarian ala gandhiisme) sementara untuk membuat perubahan tersebut membutuhkan waktu dan energy yang banyak. Mahatma Gandhi merupakan sosok yang sangat fenomenal, ia memenangkan pertarungan perebutan garam sementara ia tidak terlalu membutuhkan garam itu sendiri. Belajar dari sejarah tersebut tentu bukan energy saja faktor satu-satunya yang membuat perubahan itu nyata namun lebih daripada itu.

Semoga artikel ini memiliki manfaat dalam menambah pengetahuan dan daya kritis kita terhadap pengetahuan itu sendiri.
Buanglah Sampah pada tempatnya. Hehehe









Kamis, 11 Januari 2018

DIBALIK “NAMA BALI” SUKU BALI TERSELIP SEBUAH AJARAN/PAHAM.

Hasil gambar untuk kesetaraan
Nama merupakan sebuah identitas menjadi salah satu bukti yang menjelaskan sebuah keberadaan/eksistensi sesuatu. Nama orang Bali Merupakan sebuah kebudayaan luhur yang kaya akan makna yang tersirat bila kita sebagai generasi penerus mampu menterjemahkan warisan-warisan budaya tersebut secara bijak.
Bicara mengenai bali adalah bicara mengenai pengetahuan yang di manifestasi menjadi berbagai karya dan budaya. Pragmatisme merupakan sebuah istilah untuk menggambarkan eksistesialisme orang bali. Kenapa demikian? Pragmatisme merupakan sebuah cabang filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran pengetahuan adalah kebermanfaatannya (Practice), artinya tedensi kebenaran pengetahuan adalah aksiologinya bukan ontology maupun epistomologinya. Tentu hal ini bukan sekadar spekulasi penulis, namun ini merupakan sebuah kebenaran, sebagai contoh orang bali tidak/belum membudayakan membaca Kitab Suci “Wedha”, namun inti-inti ajaran wedha itu di bentuk menjadi sebuah ritual-ritual suci agama yang lebih menekankan sisi aksiologi pengetahuan wedha tersebut. Bukan berangkat dari hal itu saja masih banyak contoh-contoh lain yang mendukung argument-argument penulis, salah satunya adalah makna tersirat dibalik penamaan orang-orang Bali.
Tentu kita sudah mengetahui, arti-arti penamaan orang bali secara tersurat seperti Wayan atau “Wayahan” = Lebih Tua, Made atau “Madya”= Tengah, Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir, Ketut yang merupakan kata serapan “Ke+tuut”- ngetut artinya mengikuti atau mengekor. Tapi dalam artikel kali ini, kita tidak akan membahas makna tersurat dalam penamaan orang bali, namun lebih dari itu ialah makna tersirat yang terkandung di dalamnya.
Apakah kira-kira makna tersirat di balik penamaan orang-orang bali tersebut?. Salah satu identitas orang bali adalah penamaannya. Kebanyakan orang bali mempunyai nama depan yang sama sesuai dengan urutan kelahirannya. Nama depan putu, kadek, nyoman dan ketut merupakan nama-nama umum yang dipakai oleh orang-orang bali. Selain nama-nama tersebut juga ada nama-nama seperti Desak, Anak Agung, Ida Bagus yang merupakan nama-nama wangsa/bangsawan bukan kasta (Imperialisme Hinduism melalui sistem kasta bukan “Varna”). Sebenarnya kalau dikaji lebih dalam di balik penamaan orang-orang bali seperti wayan, dkk terkandung prinsip Egaliterism (kesetaraan). Tentu dalam hal ini spesifikasinya adalah kesetaraan sosial. Anak Agung Gede…. merupakan contoh kesamaan tersebut. Baik dari golongan bangsawan maupun yang bukan golongan bangsawan tetap mengindahkan nama-nama umum orang bali tersebut.
Tentu timbul sebuah pertanyaan? Kalau dari penamaan orang bali tersebut tersirat paham egaliterism (Dalam hindu istilah ini identik dengan Tatwam Asi)? Lantas darimana asumsi bahwa sistem kasta itu ada dalam budaya bali? Tentu untuk membahas sistem kasta kita harus membahas sejarah hindu secara komprehensif, semenjak kedatangan bangsa arya yang membaur/mengusir sebahagian bangsa dravida hingga kedatangan imperialism inggris dan visi misionarisnya di India. Banyak kalangan intelektual hindu yang menentang adanya sistem kasta, karna kalau mengacu pada kitab suci sistem kasta tidak ditemukan akan tetapi yang ada hanyalah sistem Varna (Pengelompokkan sosial berdasarkan pencahariannya). Sistem kasta mulai populer ketika India kedatangan kaum imperialisme inggris. Banyak pembengkokan-pembengkokan sejarah dan juga penerjemahan kitab-kitab suci secara sempit (Hidden Vision). Kasta identik dengan statifikasi sosial yang negative, di dalam sistem kasta itu terdapat kelas sosial yang terbuang (Paria), dimana kaum ini lahir sebagai akibat perkawinan antara kelas-kelas sosial yang berbeda tingkat dalam tingkatan sistem kasta tersebut (yang sebenarnya tidak diperbolehkan kasta yang satu menjalin hubungan lebih dengan kasta yang lain), tentu hal ini merupakan bentuk penjajahan kelas, yang identik dengan Kaum Berpunya dan Kaum Tidak Berpunya. Apakah di bali sistem kasta itu berlaku? Jawaban ini dapat teman-teman baca pada artikel (http://inputbali.com/sejarah-bali/sejarah-adanya-kasta-di-bali).

Di akhir penghujung, Sebagai generasi penerus yang mewarisi sebuah budaya yang agung ini, maka tentu kita harus menjaga kebudayaan itu, menambah kekayaan tersebut bukan malah sebaliknya enggan menggunakan atau melanjutkan kebudayaan adiluhung (“) yang secara langsung mengikis kebudayaan itu secara perlahan. “Mengatasnamakan peradaban namun mengikis kebudayaan”.
















Senin, 08 Januari 2018

“Tong Kosong Nyaring Bunyinya”


Tulisan ini merupakan tulisan abal-abal yang sangat menghianati dari khaidah penulisan yang baik dan benar alias “Tong Kosong Nyaring Bunyinya”, hambar tanpa makna, seperti makanan enak namun tidak bergizi.
Peribahasa “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” merupakan peribahasa yang memiliki makna yang sangat mendalam, dan merupakan sebuah kritikan ataupun sebuah refleksi setiap orang yang bisa mendengar dan membacanya. Sebuah kalimat yang singkat namun dapat meruntuhkan setiap ego maupun kepercayaan diri seseorang. Terlepas dari hal tersebut, penulis tidak akan memaparkan lebih jauh mengenai makna dari peribahasa tersebut, karna penulis yakin bahwa teman-teman yang meluangkan waktu untuk membaca tulisan tidak bermanfaat ini sudah tentu memiliki daya nalar yang bagus.
Dalam kepercayaan Hindu, di zaman yang kita nikmati sekarang merupakan zaman Kaliyuga yang berarti zaman dimana ke-egoisan manusia sedang merajalalela, zaman dimana manusia tidak lagi berperang dengan bangsa/kelompok (musuh/Adharma(ketidak benaran)) tertentu untuk meneggakkan kebenaran, namun manusia berperang dengan musuh yang ada dalam dirinya sendiri.
Merupakan sebuah refleksi pribadi penulis sebagai bentuk pengalaman pribadi penulis yang melihat begitu banyak makluk-makluk berpengetahuan yang semakin memiliki Idealisme Mutlak dan tidak jarang juga berIdealisme Semu (Tong Kosong Nyaring Bunyinya). Bertutur kata layaknya sang visioner yang bersih tanpa noda. Katakan “salah” pada kepentingan orang banyak dan katakan “benar” pada kepentingan diri sendiri merupakan istilah yang cocok untuk menggambarkan prinsip makluk-makluk halus tersebut. Kehidupan merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan (rwabhineda) merupakan istilah yang bijak untuk merespon kerasnya kehidupan di dunia.
Manusia Indonesia merupakan manusia-manusia yang ber-Tuhan, terlihat jelas disetiap langkah penulis menemukan bangunan-bangunan megah nan-suci yang didedikasikan untuk menghadap dan menjalin Silahturahmi dengan Sang Pencipta. Begitu eratnya hubungan antara manusia dan Tuhan di Negeri tercinta ini bila dipikirkan. Walaupun demikian banyaknya bangunan-bangunan tersebut, tidak sepercikpun membuat hati ini bersimpati lalu mengatakan manusia di dunia ini merupakan manusia-manusia yang bijak. Entah apakah bangunan itu hanya sebatas simbolisasi (Tong Kosong Nyaring Bunyinya)  atau memang pada kenyataan manusia Indonesia merupakan manusia yang menjunjung tinggi sila ke-1 dari Pancasila yaitu Berketuhanan Yang Esa.
Manusia merupakan makluk sosial “Zoon Politicon” terbukti dengan adanya istilah manusia tidak bisa hidup tanpa “Media Sosial”. Kebaikan-kebaikan diri dan keburukan-keburukan orang lain disebarluaskan, banyak yang kehilangan jati diri, merosotnya moralitas, miskin identitas, pragmatisme mengakar kuat pada generari Milineal. Mungkin hal ini sudah dipopulerkan dalam lagu “Kid’s Jaman Now”. Hal ini menyebabkan banyaknya bermunculan manusia-manusia “Tong Kosong Nyaring Bunyinya” (termasuk penulis).