Minggu, 28 Mei 2017

Kebodohan dalam pandangan Hindu



Hasil gambar untuk orang membacaTulisan ini merupakan sebuah tulisan studi komperatif yang coba membandingkan antara kebodohan dan Pengetahuan yang belum sempurna menurut ajaran wedha. Bahwa tidak bisa dipungkiri kita sering merasa bingung dengan kedua redaksi tersebut. Apakah kita benar-benar bodoh atau pengetahuan kita yang belum sempurna? inilah pertanyaan yang sering muncul dalam hati penulis. Kita sering menyebut orang lain bodoh baik dengan sadar maupun  tidak sadar (pura-pura tidak sadar kurang lebih seperti itu) hanya karna orang lain itu tidak lekas mengerti, membuat suatu kesalahan dll. Ini bukan salah saya ataupun salah kamu, dia atau mereka (haha) tetapi dalam kamus Besar Bahasa Indonesia memang kata bodoh itu diartikan tidak lekas mengerti, sering membuat kesalahan dll. Kata bodoh menurut hemat penulis adalah sebuah penyederhanaan kata untuk mewakili semua insan yang lambat mengerti (Lambat loading versi anak alay) dan sering membuat kesalahan berdasarkan KBBI.
Berdasarkan kepercayaan Hindu bahwa zaman sekarang adalah zaman kaliyuga dimana Adharma sudah menguasai setiap orang dan kita sendiri berusaha untuk menampik itu semua dan berusaha secara totalitas membenarkan apa yang kita lakukan dan mentidakbenarkan apa yang orang lain kerjakan. Walaupun kata bodoh pada awalnya hanya untuk mewakili orang-orang yang belum mengerti saja tapi di zaman kaliyuga ini kata bodoh digunakan sebagai senjata untuk mencedarai hati orang lain, membuat orang lain semakin tidak percaya diri dll sehingga kata bodoh tidak lagi bermakna positif.
            Banyak yang beranggapan bahwa dalam agama hindu tidak mengenal kata bodoh (terutama kalangan intelektual), namun hal itu tentulah pandangan pribadi setiap umat yang menerjemahkan daripada kitab suci agama hindu itu sendiri. Tentunya hal itu sangat menarik bagi penulis untuk dianalisis sehingga mendapatkan jawaban yang memuaskan hati penulis itu sendiri.
Sepanjang yang penulis telaah bahwa kata bodoh dalam agama Hindu itu tetap ada namun bagi penulis memiliki makna yang berbeda dari apa yang di terjemahkan dalam KBBI. Ahamkara (keakuan), Avidya (ketidaktahuan), Loba, Krodha dll adalah bentuk kebodohan yang dimaksud dalam ajaran Hindu. Sedangkan lambat mengerti, sering membuat kesalahan secara teknis ini merupakan bentuk pengetahuan yang belum sempurna namun belum tentu bodoh.  Seperti yang dijelaskan dalam sloka Bhagawad Githa di bawah ini :
BG XIII-27
Anye tu evam ajamantah srutvanyebhya upasate
Te pi catitaranty eva mrtyum sruti – parayanah
Artinya
“namun yang lain, karena ketidaktahuan, mendengar dari orang lain lalu memuja, mereka pun mengatasi kematian dengan mengabdikan diri pada apa yang telah didengar.
            Bodoh dalam pandangan hindu merupakan bentuk ketidaktahuan serta keimanan yang tidak mantap kepada Brahman menyebabkan kita masih berada dalam lingkaran kebodohan. Sifat bodoh yang menimbulkan kemalasan, kebingungan dan tidak aktif sebagai bentuk dominasi dari sifat tamas.  Seperti tercantum pada BG XIV-13 sebagai berikut :
Aprakaso pravrttis ca pramado moha eva ca
Tamasy etani jayante vivrddhe kuru-nandana
Artinya
Kekurang cerahan, tidak aktif, keteledoran dan juga kebingungan, semua ini timbul dari sifat tamah, yang makin bertambah kuat, wahai arjuna.

Dalam BG XIV – 16
Karmanah sukrtasyahuh sattvikam nirmalam phalam
Rajas as tu phalama duhkham ajnanam tamasah phalam
Artinya
Dinyatakan hasil perbuatan orang yang sattwika adalah memperoleh kesucian, tetapi pahala sifat rajah adalah penderitaan sedangkan kebodohan adalah pahala sifat tamah.
Kebodohan dalam pandangan hindu merupakan suatu sikap tidak menyadari sang diri (atman), pikiran yang tidak bisa di kontrol dalam artian masih dibelenggu oleh pengaruh dunia maya, musuh-musuh dalam diri yang tidak bisa diatasi.
Pengetahuan spiritual merupakan kebenaran mutlak dan apabila kita sebagai bakta tidak mengetahui secara benar dan berusaha untuk mendiamkan ketidaktahuan maka kita adalah tergolong orang-orang yang bodoh, sebagai kaum brahmacari maka pengetahuan diibaratkan sebagai perahu yang akan menyeberangi kita dari dunia kegelapan. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai kaum brahmacari mencari pengetahuan seluas-luasnya, alangkah munafiknya kita apabila mengingkari keberadaan kita sebagai kaum brahmacari itu sendiri.
Pengetahuan hasil pemikiran manusia merupakan pengetahuan yang mampu menciptakan peradaban kehidupan manusia yang lebih baik. Ketidaktahuan akan pengetahuan tersebut merupakan sesuatu yang sifatnya manusiawi karna begitu banyak hasil-hasil pemikiran manusia yang dituangkan dalam bentuk karya sastra. Kita sebagai manusia yang menikmati hasil karya tersebut tentu saja dapat memilih yang akan kita konsumsi untuk sedikit memajukan akal dan pikiran kita masing-masing tentunya sifatnya tidak boleh dipaksakan. Alangkah berdosanya kita bilamana menyebut orang lain bodoh hanya karna apa yang kita ketahui mereka tidak mengetahuinya,  karna pada hakikatnya pengetahuan kita semua merupakan pengetahuan yang tidak sempurna. “Apa yang kita ketahui belum tentu orang lain mengetahui dan apa yang mereka ketahui belum tentu kita juga mengetahui”.
Demikian tulisan yang tidak sistematis ini penulis persembahkan dengan sedikit ekspektasi akan kemajuan (progress ) penulis itu sendiri sebagai kaum brahmacari. Apabila ada hal yang tidak masuk akal tolong dipaksakan untuk dirasionalisasikan, bagaimana pun caranya. “Om Shanti Shanti Shanti Om” 


















Senin, 13 Maret 2017

Mengadministrasikan Keadilan dan Keadilan Dalam Perspektif Hindu



           Istilah Keadilan tentu tidaklah asing ditelinga kita, apa lagi bagi kita yang sering mengikuti berita politik yang setiap saat rasanya politisi negeri ini melantunkannya bagaikan sebuah lagu yang sudah melekat dalam lidahnya, tapi entah dalam hatinya. Mengadministrasikan keadilan merupakan sebuah istilah yang sering dikeluarkan oleh Gubernur Ibu Kota Jakarta Basuki Tjahja Purnama ( Dewa Naga Basuki = Si Lidah Api). Nah. Tentu kita bertanya-tanya, apa yang dimaksud dengan mengadministrasikan keadilan? Sebelum kita membahas lebih lanjut mengenai mengadminitrasikan keadilan, ada baiknya kita mengetahui konsep adil dan rasa keadilan. Di dalam Abdulkadir ( 2011 : 173) bahwa Rasa adil adalah sifat perbuatan manusia. Menurut arti katanya, “adil” artinya tidak sewenang- wenang kepada diri sendiri maupun kepada pihak lain. Tidak sewenang- wenang dapat berupa keadaan yang meliputi : 
  • Tidak berat sebelah, perlakuan yang sama, tidak pilih kasih;
  •   Sama (seimbang), nilai bobot yang tidak berbeda;
  • Wajar, seperti apa adanya, tidak menyimpang, tidak lebih, dan tidak kurang;
  • Patut/layak, dapat diterima karena sesuai, harmonis, dan proporsional
  • Perlakuan kepada diri sendiri, sama seperti perlakuan kepada pihak lain dan sebaliknya.
Nah sudah tau kan yang mana disebut dengan adil, sekarang kita minum kopi dulu biar rileks, jangan lupa dibagi biar adil (bukan adil itu namanya beli tapi berbagi.hihi).
Kembali ke topik. Diatas telah dipaparkan makna dari keadilan berdasarkan sumber buku yang dibuat oleh manusia (Pengertian keadilan versi manusia), dan untuk lebih meyakinkan kita sebagai umat hindu yang berpengetahuan (mengetahui secara sastra ji belumpi praktek) tentang esensi dari keadilan itu maka perlu didukung oleh sloka-sloka yang ada dalam Kitab suci wedha

Prihen temen dhrama dumaranang sarat
Saraga sang sadhu sireka tutana
Tanartha tan kama pidonia tan yasa
Ya sakti sang sajjana dharma raksaka.

Artinya:
Uttamakanlah kebenaran dengan sungguh-sungguh

Kepribadian orang budiman yang patut ditiru

Bukan keinginan, bukan balas jasa yang menjadi tujuan

Kekuatan orang yang berbuat kebaikan adalah kebenaran dipegang teguh

(Kakawin Ramayana, Sargha 24.89).

Secara hirarki hukum Hindu ditegaskan dalam kitab Manawa Dharma Sastra II.6 sebagai berikut:

Idhanim dharma pramananyaha
Wedo khilo dharma mulam
Smrticile ca tadwaidam
Acarascaiwa sadhunam
Atmanastutir ewaca

Artinya:
Seluruh pustaka suci weda adalah sumber pertama dari dharma, kemudian adat istiadat, lalu tingkah laku yang terpuji dari orang budiman yang mendalami pustaka suci weda, juga tata cara peri-kehidupan orang suci, dan akhirnya kepuasan diri pribadi.


Berdasarkan kutipan sloka diatas tersebut bahwa keadilan menurut ajaran hindu adalah sebuah kebenaran, dan yang menjadi sumber kebenaran itu adalah Kitab Suci Wedha yang diwahyukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa melalui para maha Rsi. Keadilan harus lah ditegakkan dan merupakan sebuah karma yoga bagi yang bersikap adil. Selain itu, Konsep Tatwam Asi (kamu adalah aku, dan aku adalah kamu) merupakan konsep keadilan dan prinsip egaliter/kesetaraan bahwa pada hakikatnya manusia adalah sama, memiliki atman yang merupakan percikan terkecil dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Pemimpin bertugas untuk menegakkan keadilan, dan setiap orang berkewajiban untuk bersikap adil.  Ini merupakan penjelasan singkat yang astungkare dapat dengan mudah dipahami (sebatas pengetahuan penulis).

Setelah mengetahui defenisi keadilan, tugas kita selanjutnya adalah mengetahui apa yang dimaksud dengan mengadministrasikan keadilan. Mengadministrasikan keadilan terdiri dari dua kata yaitu administrasi dan keadilan. Administrasi adalah suatu proses kerjasama antara dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama. Kata meng-administrasi-kan terdiri dari imbuhan Meng dan Kan, yang kata kerjanya adalah administrasi. Kata meng- dan –kan itu sendiri merupakan kata imbuhan yang mengandung makna benefaktif (melakukan pekerjaan untuk orang lain(teman-teman bisa googling di mbah google)) dari sinilah bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan mengadministrasikan keadilan adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pengertian mengadministrasikan yang penulis maksud adalah lebih kepada implementasinya. J

# Tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, bilamana ada kesalahan dalam penulisan maka saran dan kritik sangat diperlukan
# semoga dapat menambah pengetahuan kita semua. “Swaha”






Minggu, 05 Maret 2017

Mengapa Truna dan Truni Bali harus mencintai Budaya Bali??



Banyak yang beranggapan bahwa eksistensi bali semakin hari akan semakin menurun disebabkan tingkat kebutuhan yang semakin kompleks dan juga pengaruh globalisasi. Tingkat ekonomi yang semakin sulit dan teknologi yang semakin canggih menyebabkan manusia semakin bermental pragmatis. Kepragmatisan tersebut menyebabkan berubahnya pola pikir terutama pada pemuda dan pemudi bali pada khususnya. Apa dampaknya terhadap eksistensi kebudayaan bali itu sendiri? Kebudayaan bali merupakan salah satu dari beberapa kebudayaan nusantara yang masih bertahan saat ini, tentu hal tersebut tidak terlepas dari peran pemuda dan pemudi serta orang tua yang memiliki sikap mencintai dan menjaga kebudayaan bali itu sendiri. Kebudayaan bali tersebut tidak terlepas dari pengaruh agama hindu. Pengaruh ajaran agama hindu dianggap memperkaya kebudayaan bali itu sendiri. Menurut orang bali sejarah kebudayaan dan kemasyarakatan bali di mulai dengan kedatangan orang orang majapahit di bali, kedatangan orang orang majapahit ini membawa perubahan yang baru bagi masyarakat bali, karena sebelumnya di bali di kuasai oleh roh-roh jahat serta mahluk mahluk yang ajaib
Akan tetapi sebenarnya jauh berabad abad sebelum zaman majapahit, di bali selatan sudah ada suatu kerajaan dengan kebudayaan hindu mungkin pada tahap pertama zaman mataram kuno (antara 600-1000 masehi ), pusat kerajaan itu terdapat di pejeng dan bedulu dengan raja keturunan warnadewa, ada kemungkinan kerajaan ini timbul langsung pengaruh dari pedagang hindu namun ada juga kemungkinan kerajaan ini di sebabkan karena pengaruh dari mataram.
Sebagai pemuda dan pemudi hindu kita harus bangga terhadap warisan dari nenek moyang kita yaitu berupa kebudayaan yang sangat unik dan kaya akan nilai-nilai kemanusian dan kedewataan. Eksistensi budaya bali hari ini akan mendatangkan sebuah ancaman dan juga sebuah peluang untuk masyarakat bali itu sendiri, untuk itu pemuda bali haruslah mapan dalam kebudayaan (Moral) dan juga peradaban (kemajuan berpikir) demi ajeg Bali. Hal tersebut dapat dimulai dari tetap menggunakan nama-nama bali yang diwariskan oleh leluhur kita seperti Gede, Kadek dll. Kalau bukan kita lalu siapa lagi?. Di dalam BG-44 juga dipertegas oleh Sri Krisnha kepada Arjuna sebagai berikut :

Utsanna-kula-dharmanam manusyanam janardana
Narake niyatam vaso bhavatity anususruma
Artinya :
Kami sudah mendengar semuanya ini, wahai Janardana,
Bahwa manusia yang kebudayaan dan hukumnya musnah, nerakalah tempatnya abadi



Kamis, 02 Maret 2017

Hindu dalam Aliran Naturalisme



Hidup Manusia itu dihubungkan dengan kekuatan gaib yang merupakan kekuatan tertinggi. Kekuatan gaib itu dari natur dan natur itu dari Sang Hyang Widhi Wasa. Akan tetapi, bagi yang tidak percaya pada Brahman, natur itulah yang tertinggi. Hyang Widhi menciptakan alam semesta lengkap dengan hukum-hukumnya, secara mutlak dikuasai Hyang Widhi. Manusia sebagai makluk tidak mampu menguasai alam (macrokosmos) ini karena manusia itu lemah. Manusia hanya hanya dapat berusaha/berencana, tetapi yang menentukan adalah Tuhan.
Aliran naturalism berintikan spekulasi, mungkin ada Brahman mungkin juga tidak. Lalu, mana yang benar? Hal yang benar adalah “keyakinan”. Jika kita yakin Brahman itu ada, kita katakan Brahman itu ada. Bagi yang tidak yakin, dikatakan Brahman itu tidak ada, yang ada hanyalah natur. Dalam pandangan hindu, keyakinan yang harus dimiliki oleh penganutnya adalah Panca Sradha, Panca artinya Lima dan Sradha artinya keyakinan. Jadi panca sradha adalah lima keyakinan yang dimiliki oleh umat hindu. Adapun lima keyakinan tersebut yang dimaksud adalah :
1)      Brahman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Widhi/Tuhan Yang Esa
2)      Atman, artinya percaya akan adanya Sang Hyang Atman
3)      Karma, artinya percaya akan adanya hukum karma phala
4)      Samsara/’punarbhawa, artinya percaya akan adanya kelahiran kembali
5)      Moksa, artinya percaya akan adanya kebahagiaan rohani (kebebasan hakiki).
Berdasarkan dengan lima keyakinan tersebut umat hindu mencari tuhan dengan jalan yang telah ditentukan dalam kitab suci wedha bak kompas yang mengarahkan orang-orang tersesat menuju jalan pulang (kedamaian).
            Brahman merupakan kekuasaan tertinggi dan manusia adalah ciptaan Tuhan/Brahman. Oleh karena itu, manusia mengabdi kepada Hyang Widhi berdasarkan ajaran Tuhan, yaitu agama/Sanatana Dharma yang diwahyukan dan dibukukan dalam bentuk Kitab Suci Wedha.
            Ajaran agama ada dua macam yaitu :
1.      Ajaran Agama yang Dogmatik, yang disampaikan oleh Tuhan/Brahman melalui para Rsi. Ajaran Agama yang dogmatik bersifat mutlak (absolute), terdapat dalam kitab suci Wedha, sifatnya tetap, tidak berubah – ubah menurut waktu dan tempat.
2.      Ajaran Agama dari pemuka – pemuka agama, yaitu sebagai hasil hasil pemikiran manusia, sifatnya relative (terbatas). Ajaran agama dari pemuka – pemuka agama termasuk dalam kebudayaan, terdapat dalam buku – buku agama yang ditulis oleh pemuka – pemuka agama. Sifatnya dapat berubah –ubah sesuai denga perkembangan Zaman.
Tentunya umat hindu mempercayai bahwa Brahman merupakan kekuatan tertinggi yang mengatur alam semesta ini. Dalam mengatur alam semesta ini umat hindu percaya dengan konsep ketuhanan yang Saguna (Jamak/Para Dewa) dan Nirguna (Tunggal/Brahman). Bahwa untuk menjaga dan mengatur alam ini beliau menempatkan diri dalam bentuk saguna, berdasarkan hal tersebut lah umat hindu mengenal dengan banyak Dewa yang paling lazim didengar adalah Tri Murti yaitu Brahma (pencipta), Wisnu (pemelihara), dan Siwa (Pralina). Selain konsep Ketuhanan saguna juga terdapat Konsep Ketuhanan Nirguna, yang diperjelas dalam bait sloka dan mantram gayatri sebagai berikut :
Ekam eva advityam Brahman yang berarti Tuhan hanya satu tidak ada yang kedua.
eko narayana na dwityo’sti kascit yang berarti hanya satu Tuhan sama sekali tidak ada duanya.
            Dalam aliran Naturalisme mengajarkan bahwa terdapat kekuatan besar yang mengatur segala yang yang ada. Apabila naturalisme ini dihubungkan dengan pandangan hidup, keyakinan manusia itu bermula dari Brahman/Tuhan. Jadi. Pandangan hidup dilandasi oleh ajaran Tuhan menurut agama yang diturukan-Nya. Manusia yakin bahwa kebajikan itu direstui oleh Tuhan. Pandangan hidup yang dilandasi oleh keyakinan bahwa Tuhanlah kekuasaan tertinggi, yeng menentukan segala-galanya, disebut pandangan hidup relegius.
            Sebaliknya, jika manusia tidak mengakui adanya Tuhan, natur adalah kekuatan tertinggi, maka keyakinannya itu bermula dari kekuatan natur. Pandangan hidupnya dilandasi oleh kekuatan Natur. Pandangan hidup ini disebut pandangan hidup komunisme.